Klik Me...

Featured Video

Sabtu, 09 Juni 2012

Pancasilaku Diselewengkan Penguasa negeriku (Penyelewengan Pancasila)


Pancasila, dasar dari segala sumber hukum Indonesia, telah berdiri kokoh dari tahun 1945. Sejak diperkenalkan istilah Pancasila oleh ir. Soekarno pada 1 juni 1945, Pancasila secara bertahap menjadi dasar dari segala dasar kehidupan berkebangsaan di Indonesia. Mulai dari bidang politik, agama, nasionalisme, dan lainnya semuanya berdasarkan dari persepsi Pancasila yang dijabarkan dengan sangat luas. Hal ini sangat wajar. Karena Pancasila bersifat fleksibel jadi bias dijabarkan dalam berbagai bidang peri kehidupan.
Masa orde lama, masa dimana Soekarno memimpin negeri ini, Pancasila dengan kokoh berdiri menjadii ideology tunggal kehidupan bangsa Indonesia, berdampingan dengan UUD’45 (meski pada masa itu UUD’45 “diupayakan” untuk diganti dengan UUDS dan UUD RIS). Namun pada masa ini trjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila pula meski sang pemimpin Negara adalah pencetus Pancasila itu sendiri. Yang paling diingat oleh masyarakat luas tentang penyimpangan yang terjadi pada masa ini adalah, dengan munculnya periode yang dalam buku sejarah dikenal dengan masa demokrasi terpimpin dan masa demokrasi liberal. Demokrasi terpimpin dalam onteks kehidupan berbangsa dan bernegara berarti dipimpin oleh Pancasila, dan dengan panduan Pancasila, disalah aplikasikan menjadi dipimpin oleh presiden selaku panglima tertinngi revolusi. Sedangkan pada masa demokrasi liberal, penyimpangan pun terjadi dengan sangat nyata. Pada masa ini, sering terjadi pemberontakan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari NKRi meski pada akhirnya berhasil ditumpas. Perlu dicatat, demokrasiliberal bukanlah cerminan demokrasi yang didasarkan pada Pancasila. Demokrasi liberal lebih condong ke system demokrasi barat, sedangkan demokrasi Pancasila bukanlah demokrasi yang bercirikan demokrasi barat ataupun demokrasi timur.
Pancasila Retak

Masa orde baru, yang terkenal dengan jargon melaksanakan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen, keadaan Pancasila pun diselewengkan. Sejarah mencatat, praktek KKN tumbuh subur pada masa ini. Hingga menjelang kejatuhan presiden soeharto pada medio Mei 1998, Pancasila hanya dijadikan slogan tanpa ada bukti riil untuk dilaksanakan. Pada masa ini, demokrasi Indonesia tumbuh dengan embel-embel umum sebagai demokrasi Pancasila, namun pada kenyataannya, demokrasi yang tumbuh adalah demokrasi binaan barat yang lebih condong ke system kapitalis. Lebih mementingkan peri kehidupan yang berdasarkan pada materi. Pembangunan digalakkan, namun intelektualitas dari segi agama, dikesampingkan. Sehingga sangat wajar jika para pemimpin yang dicetak sangat rentan terhadap godaan duniawi hingga berakibat penyelewengan-penyelewengan terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara tumbuh dengan subur.
            Masa reformasi yang dimulai pada tahun 1998, turut pula berdampak pada pengingkaran-pengingkaran Nilai-nilai Pancasila semakin marak. Banyak yang tidak sadar dengan hal ini. Dengan alasan demi rakyat, kesejahteraan masyarakat luas, hingga demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, dengan mengatasnamakan Pancasila para elite politik melakukan hal-hal yang justru merupakan pengingkaran nilai dari Pancasila itu sendiri.
            Pada masa reformasi ini, kita bias menemukan berbagai penyimpangan dan mungkin lebih tepatnya merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila itu sendiri. Ironisnya, Pancasila yang terdiri dari 5 (lima) dasar, kesemuanya telah terkhianati dengan ulah para oknum yang tak bertanggungjawab dengan alasan justru mengatasnamakan Pancasila dan NKRI.
            Sekarang mari kita lihat, apa saja pengingkaran terhadap Pancasila pada masa reformasi ini.
1.      KETUHANAN YANG MAHA ESA
Sila pertama dalam Pancasila, kita tahu adalah ketuhanan yang maha esa,  namun dalam prakteknya, justru kehidupan berbangsa kita tidak bertuhan. Dalam ajaran agama manapun, mengambil milik orang lain tidaklah dibenarkan. Apalagi diajarkan. Namun, maraknya budaya korupsi, mencerminkan bahwa masyarakat kita sudah tidak lagi mengindahkan perintah Tuhan. Maka, masih pantaskah kita jika menyebut mereka bertuhan? Dalam bedah buku tentang “pengharaman” koruptor, yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional, H. Ali Mustafa Ya’qub dari MUI (majelis Ulama Indonesia) pusat menyatakan bahwa “koruptor seperti orang yang tidak bertuhan”. Selain itu beliau juga mengindikasikan bahwa budaya korupsi yang tumbuh subur di Indonesia adalah buah dari sistem kurikulum kita 20-30 tahun yang lalu, dimana aspek kecerdasan dalam intelektual lebih ditekankan tanpa dibarengi dengan aspek kecerdasan spiritual.

2.      KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Berbicara mengenai pasal kedua dari Pancasila, kita kana dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang berpangkal pokok pada kekuatan materi. Rasa kemanusiaan, rasa keadilan, dan rasa keberadaban, hanyalah dimiliki oleh mereka yang memiliki kekuasaan ataupu kekayaan. Banyak terjadi kasus penyelewengan pasal ini terutama dari segi hukum. Kita sering melihat rakyat kecil, yang papa, terhina dan terabaikan, harus menghadapi tuntutan hukum yang berat dengan kesalahan yang relative kecil. Semisal contoh, seorang pencuri ayam, dengan nominal yang dicuri tak lebih dari seratus ribu harus mendekam dalam tahanan hingga 3 bulan. Belum lagi jika sang pencuri dihakimi massa hingga berakibat harus meregang nyawa. Sedangkan bagi mereka yang dengan sangat santainya mengambil (tepatnya mencuri) uang rakyat yang seharusnya dijadikan untuk pembangunan kesejahteraan rakyat, justru mendapat perlakuan yang sangat enak. Ada yang mendapatkan fasilitas mewah dalam penjara, ada yang bebas berkeliaran dengan alas an segudang, dan ada pula yang diberi tenggat waktu sampai tak tentu lamanya untuk melakukan pembelaan diri. Semua itu karena mereka mempunyai kekuasaan dan juga tentunya mempunyai uang. Sungguh penyimpangan yang keterlaluan dan pengkhianatan yang sangat terhadap kaum miskin yang dulu diperjuangkan dengan sepenuh hati oleh para pemimpin kita.

3.      PERSATUAN INDONESIA
Banyak yang dapat kita temukan dari pengingkaran terhadap pasal ketiga Pancasila kita ini. Yang pertama perlu kita soroti adalah semakin banyaknya kerusuhan yang terjadi di Negara kita ini, hingga mengancam terjadinya disintegrasi, timor-timur, lepas pada masa reformasi awal, dan disusul dengan pulau sipadan dan ligitan. Ini adalah buah dari system pemerintahan yang terlalu desentralis, yang lebih mementingkan pusat daripada pemerataan pembangunan dan kesejahteraan hingga ke daerah. Lokasi-lokasi yang terletak di pinggiran, sangat tidak diperhatikan sehingga muncul gejolak ingin memberontak dengan isu utama adalah ketidakpuasan terhadap pusat. Aceh, papua, Maluku telah menyatakan hal ini dalam setiap kegiatan separatis mereka. Untuk menanggulangi masalah ini, pemerintah mencoba untuk melakukan perubahan dalam system pemerintahannya. Hingga akhirnya, opsi otonomi daerah (bahkan di beberapa daerah diberlakukan otonomi khusus) dirilis. Tujuan utama pemberian otonomi daerah adalah agar daerah mampu mengelola sumber daya dan kekayaan yang mereka miliki, kemudian dipergunakan untuk menyejahterakan rakyatnya. Hal ini sejalan dengan konsep awal otonomi yang membebaskan daerah mengatur kehidupan wilayahnya serta memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada daerah untuk menentukan arah kebijakannya. Namun, sepeti kata pepatah, segala sesuatu pasti mempunyai nilai baik dan nilai buruk. Begitu juga dengan otonomi daerah, yang semula diharapkan mampu memecahkan berbagai masalah yang muncul dari system pemerintahan sentral, ternyata pada kenyataannya, implementasinya justru menimbulkan permasalahan baru. Pemberian kebebasan secra luas kepada daerah untu mengatur sendi-sendi kehidupannya membuat Negara kita seperti terdiri dari beberapa bagian yang terpisah-pisah. Beberapa daerah memiliki system “ketatanegaraan” yang berbeda dengan system utama NKRI yang berpatokan pada Pancasila, UUD ’45. Ini pun berdampak pada pemerintah pusat yang seperti kehilangan taji ketika harus berhadapan dengan daerah yang “nakal”. Karena pemerintah pusat tak lagi memiliki wewenang mutlak untuk mengatur dan megontrol daerah. Kondisi yang demikian ini tentu sangat rentan terjadi penyelewengan karena lemahnya control dari pusat.

4.      KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN
Dari awal terbentuknya Indonesia, kita semua pasti sudah sangat tahu bahwa system pemerintahan yang kita jalani adalah demokrasi kerakyatan dengan cirri perwakilan. Namun, semenjak reformasi digulirkan, sila ke empat dalam Pancasila kita tidak berjalan dan idak berfungsi sebagaimana mestinya. Kita boleh berbangga dengan embel-embel Indonesia sebagai Negara paling demokratis ketiga didunia (setelah amerika serikat dan india) namun, kebanyakan dari kita mungkin belum begitu sadar bahwa demokrasi kita sekarang bukanlah system demokrasi Pancasila. Sadar atau tidak, demokrasi kita kini mulai bergeser menuju ke system demokrasi barat binaan amerika dan antek-anteknya. Nilai-nilai Pancasila yang tekandung dalam system demokrasi Indonesia perlahan-lahan dihapuskan, kemudian berganti dengan demokrasi yang kita sendiri tidak tahu muaranya kemana.
            Sebagai contoh penyimpangan yang terjadi di Indonesia adalah, adanya pemilihan presiden, gubernur ataupun kepala daerah secara langsung. Kita mafhum, banyak terjadi penyimpangan dari tata cara pemenangan pemilihan, dan yang lebih penting lagi, ini bukanlah cerminan demokrasi kita. Pasal ke empat dengan jelas menyatakan bahwa kita adalah Negara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakila. Jadi, kita sebagai rakyat dibenarkan untuk memilih wakil kita untuk duduk di parlemen, namun untuk memilih kepala Negara, ataupun kepala daerah, kita serahkan kepada wakil-wakil yang telah kita pilih tersebut. Namun kita terlanjur terlena dengan embel-embel “pemilihan langsung lebih demokratis karena dipilih oleh rakyat”. Cobalah kita telaah dengan kapasitas kita sebagai orang awam. Selain unsur-unsur money politic dan “serangan fajar” yang berperan besar dalam penentuan jadi tidaknya kepala daerah, kita juga akan mendapati anggaran daerah ataupun anggaran Negara semakin jebol dengan biaya penyelenggaraan pemilihan tersebut. Belum lagi jika harus diadakan pemilihan ulang, dan juga yang sangat tidak diharapkan adalah adanya bentrokan dari pihak yang merasa dicurangi. Sehingga hal ini pun secara tidak langsung turut pula memperlemah persatuan Indonesia. Bentrokan seperti ini jarang kita dapatkan sewaktu presiden, gubernur, bupati, dan pimpinan-pimpinan yang lain dipilih secara langsung, meski terdapat kesan main tunjuk dan sesuka hati.
            Penyelewengan lain dari sila ke empat Pancasila adalah tentang amandemen undang-undang ’45. Para wakil rakyat yang seharusnya adalah representasi dari rakyat, ternyata dengan seenak hatinya melakukan amandemen tanpa mengetahui rakyatnya menginginkan amandemen terhadap undang-undang negaranya ataupun tidak. Dengan alas an perkembangan zaman dan tidak sesuainya undang-undang Negara dengan tuntutan zaman, para wakil yang kita pilih dengan sangat semangat melakukan amandemen terhadap UUD ’45 dengan mengabaikan posisi rakyat apakah mereka menginginkannya ataupun tidak. Pada kenyataannya “proyek” amandemen berjalan terus meski banyak pihak yang mempertanyakan.
Dwi Tunggal, Merah Putih dan Garuda Pancasila


5.      KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Berbicara tentang keadilan, jangan berharap banyak akan memihak orang-orang kecil seperti kita jika hidup di Indonesia. Karena semua sudah tahu, dan sebagian sudah membuktikan bahwa keadilan di Indonesia sangatlah mahal harganya. Keadilan yang ada di Indonesia telah dimonopoli, dikuasai oleh kaum-kaum borjuis. Hanya satetes atau dua tetes dari keadilan itu yang dicipratkan kepada masyarakat kecil. Kita lihat, hanya segelintir pimpinan kita yang mau dan berkenan memperhatikan nasib rakyat miskin di daerahnya. Selebihnya, tentu kita tahu, kesejahteraan golongan, keluarga dan teman-teman dekat para pemimpin lah yang diutamakan. Jadi, sebagai orang miskin, yang tidak tahu apa-apa, hendaknya kita janganlah terlalu berharap dengan yang namanya keadilan akan menghampiri kita. Contoh riil keadilan sosial yang diselewengkan dengan sangat jelas terlihat dalam proses penerimaan CPNS. Di berbagai daerah, kita telah mendengar dengan jelas akan adanya praktek “jalan belakang” dan “titipan bapak”. Tentulah ini merupakan penyimpangan terhadap nilainilai Pancasila kita. Seharusnya, dalam hal ini (penerimaan CPNS) praktek-praktek seperrti itu diberangus dan biarkan rakyat bersaing secara sehat. Jika ada yang diterima, tentulah benar-benar karena kualitas yang dimiliki, bukan karena unsure-unsur lain. Ini hanyalah contoh kecil dari penimpangan-penyimpangan Pancasila yang sering kita temui. Masih banyak lagi hal-hal yang tidak kita tahu dan kita anggap wajar, namun sebenarnya adalah bentuk penyimpangan terhadap ideology kita, Pancasila, ataupun demokrasi Pancasila.

            Semoga, melalui tulisan singkat ini, kita semakin tersadar bahwa masih perlu banyak pembenahan di kehidupan kita dalam bernegara, berdemokrasi dan berideology sehingga kita bisa bekerja sesuai dengan keduaukan yang kita miliki. Baik yang menjadi pemimpin, ataupun yang menjadi rakyat biasa dengan harapan nantinya akan terwujud kehidupan seperti apa yang dicita-citakan oleh Negara seperti yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 alinea ke empat. Pemimpin mempunyai kuasa, dan rakyat mempunyai power. Kekuatan rakyat seperti apa yang pernah dikatakan oleh ir. Soekarno terletak pada mass performing atau biasa kita kenal dengan mobilisasi massa. Jika para pemimpin sudah tidak mampu lagi menangani masalah yang ada, maka rakyat yang harus tampil dengan mobilisasinya.

“Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia”
(Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Karya Cindy Adams)
“Massa adalah penentu sejarah, The Makers of History!!”
(Kutipan pidato BK di Semarang 29 Juli 1956)
“Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalismenya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa di pangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”
(Ir. Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1Juni 1945)

(artikel untuk refleksi hari kesaktian Pancasila ke 45 tahun, sedan, september 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mungkin Anda Juga Harus Baca

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...